Kamis, 14 Agustus 2008

Teori Efek media

Teori Dampak Media



Ada beberapa teori yang mengemukakan efek dari kehadiran media massa, yakni:


  1. TEORI PELURU ( Bullet Theory )


Tahun 1940, paska Perang Dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang taknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Couglin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang popular di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theory”. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa.

Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien.


  1. MODEL USES AND GRATIFICATION


Model Uses and Gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper. Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila kita

kesepian lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and gratification. Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G. Blumler dam MichaelGurevitch, uses and gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Asumsi-asumsi dari teori ini adalah sebagai berikut :

a. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

b. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

c. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.

d. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

e. Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.


Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk suprarasional yang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan..

Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk pemuasan kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahun bukan untuk apa kita membaca suratkabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana suratkabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa.

Masyarakat pernah terkejut mendengar beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil setelah menonton film porno di suatu tempat di Indonesia, atau beberapa orang pemuda berandal yang membakar seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama pada film malam minggu yang disiarkan televisi ABC. Pada saat yang sama, kita juga percaya bahwa surat kabar dapat membantu perbendaharaan pengetahuan kita sehingga kita masukkan koran ke desa, walaupun rakyat desa lebih memerlukan subsidi makanan yang bergizi. Kita menaruh perhatian pada peranan televisi dalam menanamkan mentalitas pembangunan, sehinga kita bersedia meminjam uang untuk satelit kemunikasi. Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan efek pada diri khalayaknya.

  1. TEORI AGENDA SETTING


Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). Misalnya berita tebunuhnya gembong teroris Dr. Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit dalam dalam televise dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hampir setengah halaman muka, berarti Dr. Azahari sedang ditonjolkan sebagai gembong teroris yang terbunuh atau pencapaian prestasi jajaran polisi membunuh teroris nomor wahid di Indonesia itu. Atau para bintang AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan lebih, sehingga dari orang yang tak dikenal, karena terus diberitakan atau disiarkan hanya beberapa bulan menjelma menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa televisi Indonesia.

Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience).

Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia

belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menetukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa.


  1. CULTURAL IMPERIALISM THEORY


Dikemukakan oleh Herb Schiller tahun 1973. Teori ini berguna untuk menjelaskan bahwa bangsa Barat mendominasi media di hampir semua bagian di dunia ini sehingga pada gilirannya mempunyai kekuatan pengaruh yang sangat kuat terhadap budaya dunia ketiga (negara-negara yang belum dan yang sedang berkembang). Caranya adalah dengan mengganggu dan menetapkan pandangan-pandangan mereka atas kondisi budaya lokal sehingga budaya lokal semakin rusak.

Media, khususnya media massa seperti film, surat kabar, web dan situs-situs informasi dari internet, komik, dan juga novel dan sejumlah media massa lainnya, umumnya diproduksi secara besar-besaran oleh orang Barat, karena mereka mempunyai modal untuk melakukannya. Dilihat dari harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan media lokal, karena yang terakhir ini kekurangan modal pendukungnya. Akibatnya, karena setiap hari dan setiap saat penduduk dunia ketiga tadi menonton dan membaca hasil dan pandangan-pandangan budaya yang dilahirkan oleh budaya barat, maka akibatnya mereka pun terpengaruh.

Pengaruh lebih jauh dari adanya terpaaninformasi yang terus menerus dari berbagai media massa seperti ini, maka secara langsung ataupun tidak langsung masyarakat dunia ketiga ‘membenarkan’ atau mengadopsi pandangan dan perilaku budaya barat. Dan yang lebih parah lagi, budaya lokal menjadi semakin terpinggirkan, rusak, atau mungkin suatu saat akan hilang sama sekali.

Di Indonesia, misalnya. Kita telah merasakan akan hal itu. Anak-anak kita atau anak-anak seusia sekolah, bahkan anak kecil di rumah kita, dalam menghadapi pergaulan dengan sesame mereka, sudah precis menggunakan pola budaya televisi. Anggah ungguh tidak pernah dipakai lagi dalam pergaulan di antara mereka. Dalam bergaul dengan orang tua saja mereka sudah ‘berbeda’ dengan ketika kita masih seumur mereka pada saat menghadap dan berkomunikasi dengan orang tua.

Dulu kita diajari untuk tidak menatap mata orang tua secara langsung, tetapi anak sekarang jika berkomunikasi dengan kita, mereka menatap (mata) kita, dan kita membiarkannya karena kita sudah menganggap hal itu memang harus dilakukan. (Budaya tatap menatap sudah bergeser?).

Soal pengaruh budaya barat terhadap budaya lokal, itu sudah pasti ada karena adanya proses transfer budaya dan adanya akulturasi, terutama yang tampak sekali adalah yang terjadi pada anak-anak hingga menjelang dewasa. Sebab pada usia inilah terjadinya masa-masa mencari dan berpetualang secara sangat agresif. Sedangkan orang tua, apalagi yang tergolong berpendidikan, tidak begitu saja mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya dan kepercayaannya selama ini.

Beberapa kritik terhadap teori ini memang pantas dikemukakan di sini mengingat beberapa hal yang tampaknya masih perlu penjelasan dan pengujian lebih lanjut, yakni antara lain sebagai beriku:

(1) Sulit untuk menjelaskan dengan teori ini mengenai kekuatan penjelasannya, misalnya dalam kasus, sekelompok orang dengan ide dan kepercayaannya selama ini mengirim pesanpesan kepada sekelompok orang yang berbeda melalui penggunaan media, khususnya media massa.

(2) Kritik berikut berkaitan dengan adanya kekuatan untuk meramalkan (to predict) sesuatu yang belum terjadi. Bahwa budaya dunia ketiga akan rusak atau hancur, dan orang-orangnya akan beridentitas sebagai orang barat, terutama dalam pandangan-pandangan dan kepercayaannya. Apa iya seperti itu. Bukankah adanya akulturasi buada malahan justru bisa memperkaya wawasan masyarakat sehingga pada akhirnya akan mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya lokal?.

(3) Terlalu sederhana jika kita hanya melihat seperti garis lurus dari proses penggunaan media yang asalnya dari pengirim menuju ke penerima, lalu dilihat efeknya. Efek-efek komunikasi tidak bisa diukur atau dijelaskan sebagai pola hubungan garis lurus, tapi bisa jadi berpola kurva, kurva linear, spurious, atau bahkan negatif.

(4) Kritik berikutnya adalah falsifiability (bisa salah). Negara-negara dunia ketiga tidak terpengaruh oleh media barat, dan mereka juga tidak kehilangan kebudayaannya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, justru media barat bisa digunakan untuk menjelaskan pola budaya lokal, sehingga budaya lokal menjadi mengglobal.

(5) Adanya suatu alur peristiwa yang tampak logis sehingga berkonsekuensi terhadap teori itu sendiri.

(6) Kritik lainnya adalah pada heuristic provocativeness. Mungkin akan muncul hipotesis baru mengenai effek dari adanya proses budaya. Budaya mana yang paling banyak dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan seberapa besar pengaruh budaya tersebut terhadap budaya lokal.

(7) Terlalu menganggap kuat organisasi pengusung media massa. Kita sebenarnya mengetahui bahwa budaya barat dan budaya timur memang berbeda.




  1. MEDIA EQUATION (PENYAMAAN MEDIA) THEORY


Teori ini dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass, tahun 1996. Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang secara tidak sadar dan secara otomatis merespons terhadap media komunikasi seperti halnya kepada manusia. Teori ini juga melihat adanya proses komunikasi interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Kita berkomunikasi dengan komputer dan media lainnya seperti kita berkomunikasi dengan manusia. Kita juga terkadang berkomunikasi dengan hp (hand phone), bukan berkomunikasi dengan orang melalui penggunaan hp, melainkan berkomunikasi dengan hp itu sendiri, ketika sedang ‘browsing’. Perhatikan diri kita sendiri, atau orang lain di sekitar kita, ketika sedang menonton siaran televisi. Seolah kita itu bagian dari orang-orang yang ada di dalam televisi yang kita tonton.

Kalau kita duduknya jauh dari pesawat televisi, maka seolah memang jauh pula hubungan antara kita dengan orang-orang yang ada di dalam televisi itu. Namun ketika kita dekat pesawat televisi dan kita menonton siarannya, kita seolah merupakan bagian dari anggota orang-orang yang ada di televise tadi. Mereka tertawa, kita juga terkadang ikut tertawa. Juga ketika mereka menangis, kita juga sering turut sedih dibuatnya. Proses komunikasi antar persona antara kita dengan televisi benar-benar terjadi dalam hal ini. Meskipun sebenarnya prosesnya hanyalah imajinasi belaka, atau setidaknya itu bentuk komunikasi antar persona yang lain.

Tidak rumit untuk memahami teori ini, karena memang kita sering melakukannya dan juga merasakannya. Kita sering bersimpati dan berempati terhadap tokoh-tokoh film yang ada di televisi. Kita juga sering mendengarkan para presenter dan para penyiar lainnya seolah kita berhadapan langsung dengan mereka. Dan kita memang berkomunikasi dengan mereka, meskipun dalam bentuk yang tertunda, misalnya.


  1. SPIRAL OF SILENCE THEORY


Dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann tahun 1984. Teori ini menjelaskan mengapa dan bagaimana orang sering merasa perlu untuk menyembunyikan (to conceal) pendapatpendapatnya, preferensinya (pilihannya), pandangan-pandangannya, dsb., manakala mereka berada

pada kelompok minoritas.

Secara ontologis kita bisa melihat bahwa teori ini termasuk kategori ilmiah. Teori ini mempercayai bahwa sudah menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang dominan) bergantung kepada suara mayoritas dari kelompoknya. Seperti halnya teori-teori yang lain, teori ini juga bukan tanpa kritik. Berlakunya teori ini hanya situasional dan juga kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan pendapat dan pandangan pada kelompok. Sedangkan untuk ketentuan lain, seperti pendapat tentang suatu keahlian, misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian lainnya, tidak didasarkan pada pendapat kelompok.

Contoh kasus. Meskipun dalam posisi minoritas, namun karena dia seorang ahli dan teknisi komputer, misalnya, maka pendapat dan pandangannya mengenai komputer, akan tetap lebih dipercaya dibandingkan dengan mereka yang banyak jumlahnya namun tidak mengetahui perihal komputer.


  1. TECHNOLOGICAL DETERMINISM THEORY

Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1962. Cukup lama memang, namun masih bisa kita renungkan aplikasinya di dunia yang semakin canggih dewasa ini. Pada saat artikel ini disusun, komputer belum semaju sekarang, internet pun belum kita kenal, namun sekarang jauh diluar model teori ini. Teori ini menegaskan bahwa teknologi media membentuk kita sebagai individu dalam masyarakat dalam hal bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak berkaitan dengan fungsi-fungsi teknologi media.

Kita belajar, kita mendapatkan informasi, hiburan, atau berita lain dari media teknologi seperti radio, film, surat kabar, televisi, atau bahkan internet. Dengan hanya mendengarkan radio siaran, kita bisa berpikir, merasa, atau mengembangkan imajinasi kita sesuai atau setidaknya terilhami oleh informasi yang disampaikan oleh radio tersebut. Demikian pula kita belajar, merasa atau bertindak atas dasar informasi yang kita peroleh dari surat kabar, televisi, atau internet. Pesanpesan yang disampaikan oleh media teknologi tadi, sekarang sudah tak terbatas jumlahnya, baik yang menurut kita dianggap ‘sampah’ sampai kepada informasi yang benar-benar kita butuhkan.

Sebenarnya kita sebagai pustakawan atau peminat bidang ilmu informasi dan perpustakaan, tidak selayaknya mengatakan informasi sebagai sampah.

Kita harus meyakini bahwa informasi, sekecil apapun dan mungkin sejelek apapun maknanya, tentu ada yang membutuhkan. Dari beragam informasi yang serba memungkinkan untuk kita buang atau kita manfaatkan tadi, maka muncullah berbagai teori tentang penggunaannya.


  1. MEDIA CRITICAL THEORY


Para ahli media mengakui terdapat dua sisi/muka tentang komunikasi massa. Muka kesatu melihat media ke arah masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat. Media dan masyarakat dianggap saling mempengaruhi, baik secara struktural maupun fungsional. Sisi ini yang dikenal sebagai sisi makro teori komunikasi massa.

Sedangkan muka kedua melihat terhadap orang, baik secara perseorangan maupun kelompok. Sisi ini melihat hubungan antara media dengan audiens. Para ahli tertarik untuk meneliti hubungan antara media dengan audiens, individu maupun kelompok, dan akibat dari menggunakan media tadi. Sisi ini dikenal dengan sisi mikro dari teori komunikasi massa.

Pola hubungan antara masyarakat, lembaga masyarakat atau organisasi, dan media, serta efeknya, yang menggambarkan dua muka komunikasi massa.


9. TEORI NILAI HARAPAN


Teori ini mendasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya. Intinya, sikap Anda terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang penilaian Anda terhadap media tersebut. Palmgreen dkk. (dalam Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi Anda

terhadap isi media tersebut.

Contohnya, Film-film televovela dari Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi swasta, banyak disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena. Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran filmfilm tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat berteletele, dsb. Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya.

Tampaknya masalah hiburan tidak selalu mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita. Gambar Model teori nilai harapan dari pemanfaatan media


  1. MEDIA KULTIVASI


Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Dalam riset proyek indikator budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003 : 324-325).

Pertama, televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara.

Kedua, medium televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika,

karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.

Ketiga, persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target

khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara

dan cerita (drama).

Keempat, fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan)

Kelima, observasi, pengukuran, dan kontribusi televise kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.

Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya.


3 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal namaku deny,


kebetulan aku lagi perlu ref tentang teori dampak media....


oh ya kamu kuliah dimana ada fs gak...

sapa tau bisa sharing....

deny_rismawan@yahoo.com

thank's

Anonim mengatakan...

nice blog ^^

thank's sis.,

dapet juga refrensi teori ini ..,,

ronald pippo hutagaol mengatakan...

seharusnya anda mencantumkan refrensi yang jelas, agar tidak terkena plagiarism...