Kamis, 14 Agustus 2008

Teori Efek media

Teori Dampak Media



Ada beberapa teori yang mengemukakan efek dari kehadiran media massa, yakni:


  1. TEORI PELURU ( Bullet Theory )


Tahun 1940, paska Perang Dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang taknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Couglin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang popular di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theory”. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa.

Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien.


  1. MODEL USES AND GRATIFICATION


Model Uses and Gratification boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper. Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila kita

kesepian lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita? Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and gratification. Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G. Blumler dam MichaelGurevitch, uses and gratification meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. Asumsi-asumsi dari teori ini adalah sebagai berikut :

a. Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

b. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.

c. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya.

d. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

e. Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.


Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk suprarasional yang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan..

Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk pemuasan kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahun bukan untuk apa kita membaca suratkabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana suratkabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa.

Masyarakat pernah terkejut mendengar beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil setelah menonton film porno di suatu tempat di Indonesia, atau beberapa orang pemuda berandal yang membakar seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama pada film malam minggu yang disiarkan televisi ABC. Pada saat yang sama, kita juga percaya bahwa surat kabar dapat membantu perbendaharaan pengetahuan kita sehingga kita masukkan koran ke desa, walaupun rakyat desa lebih memerlukan subsidi makanan yang bergizi. Kita menaruh perhatian pada peranan televisi dalam menanamkan mentalitas pembangunan, sehinga kita bersedia meminjam uang untuk satelit kemunikasi. Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan efek pada diri khalayaknya.

  1. TEORI AGENDA SETTING


Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitkan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). Misalnya berita tebunuhnya gembong teroris Dr. Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit dalam dalam televise dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hampir setengah halaman muka, berarti Dr. Azahari sedang ditonjolkan sebagai gembong teroris yang terbunuh atau pencapaian prestasi jajaran polisi membunuh teroris nomor wahid di Indonesia itu. Atau para bintang AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan lebih, sehingga dari orang yang tak dikenal, karena terus diberitakan atau disiarkan hanya beberapa bulan menjelma menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa televisi Indonesia.

Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience).

Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia

belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas social kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, meraka juga belajar sejauhmana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menetukan “acara” (agenda) kampanye. Dampak media massa, kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara individu-individu, telah dijuluki sebagai fungsi agenda setting dari komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting, kemampuan media untuk menstruktur dunia buat kita. Tapi yang jelas Agenda Setting telah membangkitkan kembali minat peneliti pada efek komunikasi massa.


  1. CULTURAL IMPERIALISM THEORY


Dikemukakan oleh Herb Schiller tahun 1973. Teori ini berguna untuk menjelaskan bahwa bangsa Barat mendominasi media di hampir semua bagian di dunia ini sehingga pada gilirannya mempunyai kekuatan pengaruh yang sangat kuat terhadap budaya dunia ketiga (negara-negara yang belum dan yang sedang berkembang). Caranya adalah dengan mengganggu dan menetapkan pandangan-pandangan mereka atas kondisi budaya lokal sehingga budaya lokal semakin rusak.

Media, khususnya media massa seperti film, surat kabar, web dan situs-situs informasi dari internet, komik, dan juga novel dan sejumlah media massa lainnya, umumnya diproduksi secara besar-besaran oleh orang Barat, karena mereka mempunyai modal untuk melakukannya. Dilihat dari harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan media lokal, karena yang terakhir ini kekurangan modal pendukungnya. Akibatnya, karena setiap hari dan setiap saat penduduk dunia ketiga tadi menonton dan membaca hasil dan pandangan-pandangan budaya yang dilahirkan oleh budaya barat, maka akibatnya mereka pun terpengaruh.

Pengaruh lebih jauh dari adanya terpaaninformasi yang terus menerus dari berbagai media massa seperti ini, maka secara langsung ataupun tidak langsung masyarakat dunia ketiga ‘membenarkan’ atau mengadopsi pandangan dan perilaku budaya barat. Dan yang lebih parah lagi, budaya lokal menjadi semakin terpinggirkan, rusak, atau mungkin suatu saat akan hilang sama sekali.

Di Indonesia, misalnya. Kita telah merasakan akan hal itu. Anak-anak kita atau anak-anak seusia sekolah, bahkan anak kecil di rumah kita, dalam menghadapi pergaulan dengan sesame mereka, sudah precis menggunakan pola budaya televisi. Anggah ungguh tidak pernah dipakai lagi dalam pergaulan di antara mereka. Dalam bergaul dengan orang tua saja mereka sudah ‘berbeda’ dengan ketika kita masih seumur mereka pada saat menghadap dan berkomunikasi dengan orang tua.

Dulu kita diajari untuk tidak menatap mata orang tua secara langsung, tetapi anak sekarang jika berkomunikasi dengan kita, mereka menatap (mata) kita, dan kita membiarkannya karena kita sudah menganggap hal itu memang harus dilakukan. (Budaya tatap menatap sudah bergeser?).

Soal pengaruh budaya barat terhadap budaya lokal, itu sudah pasti ada karena adanya proses transfer budaya dan adanya akulturasi, terutama yang tampak sekali adalah yang terjadi pada anak-anak hingga menjelang dewasa. Sebab pada usia inilah terjadinya masa-masa mencari dan berpetualang secara sangat agresif. Sedangkan orang tua, apalagi yang tergolong berpendidikan, tidak begitu saja mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya dan kepercayaannya selama ini.

Beberapa kritik terhadap teori ini memang pantas dikemukakan di sini mengingat beberapa hal yang tampaknya masih perlu penjelasan dan pengujian lebih lanjut, yakni antara lain sebagai beriku:

(1) Sulit untuk menjelaskan dengan teori ini mengenai kekuatan penjelasannya, misalnya dalam kasus, sekelompok orang dengan ide dan kepercayaannya selama ini mengirim pesanpesan kepada sekelompok orang yang berbeda melalui penggunaan media, khususnya media massa.

(2) Kritik berikut berkaitan dengan adanya kekuatan untuk meramalkan (to predict) sesuatu yang belum terjadi. Bahwa budaya dunia ketiga akan rusak atau hancur, dan orang-orangnya akan beridentitas sebagai orang barat, terutama dalam pandangan-pandangan dan kepercayaannya. Apa iya seperti itu. Bukankah adanya akulturasi buada malahan justru bisa memperkaya wawasan masyarakat sehingga pada akhirnya akan mengembangkan budaya yang ada, termasuk budaya lokal?.

(3) Terlalu sederhana jika kita hanya melihat seperti garis lurus dari proses penggunaan media yang asalnya dari pengirim menuju ke penerima, lalu dilihat efeknya. Efek-efek komunikasi tidak bisa diukur atau dijelaskan sebagai pola hubungan garis lurus, tapi bisa jadi berpola kurva, kurva linear, spurious, atau bahkan negatif.

(4) Kritik berikutnya adalah falsifiability (bisa salah). Negara-negara dunia ketiga tidak terpengaruh oleh media barat, dan mereka juga tidak kehilangan kebudayaannya. Bahkan dalam hal-hal tertentu, justru media barat bisa digunakan untuk menjelaskan pola budaya lokal, sehingga budaya lokal menjadi mengglobal.

(5) Adanya suatu alur peristiwa yang tampak logis sehingga berkonsekuensi terhadap teori itu sendiri.

(6) Kritik lainnya adalah pada heuristic provocativeness. Mungkin akan muncul hipotesis baru mengenai effek dari adanya proses budaya. Budaya mana yang paling banyak dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan seberapa besar pengaruh budaya tersebut terhadap budaya lokal.

(7) Terlalu menganggap kuat organisasi pengusung media massa. Kita sebenarnya mengetahui bahwa budaya barat dan budaya timur memang berbeda.




  1. MEDIA EQUATION (PENYAMAAN MEDIA) THEORY


Teori ini dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass, tahun 1996. Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang secara tidak sadar dan secara otomatis merespons terhadap media komunikasi seperti halnya kepada manusia. Teori ini juga melihat adanya proses komunikasi interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Kita berkomunikasi dengan komputer dan media lainnya seperti kita berkomunikasi dengan manusia. Kita juga terkadang berkomunikasi dengan hp (hand phone), bukan berkomunikasi dengan orang melalui penggunaan hp, melainkan berkomunikasi dengan hp itu sendiri, ketika sedang ‘browsing’. Perhatikan diri kita sendiri, atau orang lain di sekitar kita, ketika sedang menonton siaran televisi. Seolah kita itu bagian dari orang-orang yang ada di dalam televisi yang kita tonton.

Kalau kita duduknya jauh dari pesawat televisi, maka seolah memang jauh pula hubungan antara kita dengan orang-orang yang ada di dalam televisi itu. Namun ketika kita dekat pesawat televisi dan kita menonton siarannya, kita seolah merupakan bagian dari anggota orang-orang yang ada di televise tadi. Mereka tertawa, kita juga terkadang ikut tertawa. Juga ketika mereka menangis, kita juga sering turut sedih dibuatnya. Proses komunikasi antar persona antara kita dengan televisi benar-benar terjadi dalam hal ini. Meskipun sebenarnya prosesnya hanyalah imajinasi belaka, atau setidaknya itu bentuk komunikasi antar persona yang lain.

Tidak rumit untuk memahami teori ini, karena memang kita sering melakukannya dan juga merasakannya. Kita sering bersimpati dan berempati terhadap tokoh-tokoh film yang ada di televisi. Kita juga sering mendengarkan para presenter dan para penyiar lainnya seolah kita berhadapan langsung dengan mereka. Dan kita memang berkomunikasi dengan mereka, meskipun dalam bentuk yang tertunda, misalnya.


  1. SPIRAL OF SILENCE THEORY


Dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann tahun 1984. Teori ini menjelaskan mengapa dan bagaimana orang sering merasa perlu untuk menyembunyikan (to conceal) pendapatpendapatnya, preferensinya (pilihannya), pandangan-pandangannya, dsb., manakala mereka berada

pada kelompok minoritas.

Secara ontologis kita bisa melihat bahwa teori ini termasuk kategori ilmiah. Teori ini mempercayai bahwa sudah menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang dominan) bergantung kepada suara mayoritas dari kelompoknya. Seperti halnya teori-teori yang lain, teori ini juga bukan tanpa kritik. Berlakunya teori ini hanya situasional dan juga kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan pendapat dan pandangan pada kelompok. Sedangkan untuk ketentuan lain, seperti pendapat tentang suatu keahlian, misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian lainnya, tidak didasarkan pada pendapat kelompok.

Contoh kasus. Meskipun dalam posisi minoritas, namun karena dia seorang ahli dan teknisi komputer, misalnya, maka pendapat dan pandangannya mengenai komputer, akan tetap lebih dipercaya dibandingkan dengan mereka yang banyak jumlahnya namun tidak mengetahui perihal komputer.


  1. TECHNOLOGICAL DETERMINISM THEORY

Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1962. Cukup lama memang, namun masih bisa kita renungkan aplikasinya di dunia yang semakin canggih dewasa ini. Pada saat artikel ini disusun, komputer belum semaju sekarang, internet pun belum kita kenal, namun sekarang jauh diluar model teori ini. Teori ini menegaskan bahwa teknologi media membentuk kita sebagai individu dalam masyarakat dalam hal bagaimana kita berpikir, merasa, dan bertindak berkaitan dengan fungsi-fungsi teknologi media.

Kita belajar, kita mendapatkan informasi, hiburan, atau berita lain dari media teknologi seperti radio, film, surat kabar, televisi, atau bahkan internet. Dengan hanya mendengarkan radio siaran, kita bisa berpikir, merasa, atau mengembangkan imajinasi kita sesuai atau setidaknya terilhami oleh informasi yang disampaikan oleh radio tersebut. Demikian pula kita belajar, merasa atau bertindak atas dasar informasi yang kita peroleh dari surat kabar, televisi, atau internet. Pesanpesan yang disampaikan oleh media teknologi tadi, sekarang sudah tak terbatas jumlahnya, baik yang menurut kita dianggap ‘sampah’ sampai kepada informasi yang benar-benar kita butuhkan.

Sebenarnya kita sebagai pustakawan atau peminat bidang ilmu informasi dan perpustakaan, tidak selayaknya mengatakan informasi sebagai sampah.

Kita harus meyakini bahwa informasi, sekecil apapun dan mungkin sejelek apapun maknanya, tentu ada yang membutuhkan. Dari beragam informasi yang serba memungkinkan untuk kita buang atau kita manfaatkan tadi, maka muncullah berbagai teori tentang penggunaannya.


  1. MEDIA CRITICAL THEORY


Para ahli media mengakui terdapat dua sisi/muka tentang komunikasi massa. Muka kesatu melihat media ke arah masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat. Media dan masyarakat dianggap saling mempengaruhi, baik secara struktural maupun fungsional. Sisi ini yang dikenal sebagai sisi makro teori komunikasi massa.

Sedangkan muka kedua melihat terhadap orang, baik secara perseorangan maupun kelompok. Sisi ini melihat hubungan antara media dengan audiens. Para ahli tertarik untuk meneliti hubungan antara media dengan audiens, individu maupun kelompok, dan akibat dari menggunakan media tadi. Sisi ini dikenal dengan sisi mikro dari teori komunikasi massa.

Pola hubungan antara masyarakat, lembaga masyarakat atau organisasi, dan media, serta efeknya, yang menggambarkan dua muka komunikasi massa.


9. TEORI NILAI HARAPAN


Teori ini mendasarkan diri pada orientasi khalayak sendiri sesuai dengan kepercayaan dan penilaiannya atau evaluasinya. Intinya, sikap Anda terhadap sejumlah media akan ditentukan oleh kepercayaan tentang penilaian Anda terhadap media tersebut. Palmgreen dkk. (dalam Littlejohn, 1996:345) membatasi gratification sought (pencarian kepuasan) berkaitan dengan apa yang diberikan media serta evaluasi Anda

terhadap isi media tersebut.

Contohnya, Film-film televovela dari Amerika Latin yang sekarang banyak ditayangkan oleh televisi swasta, banyak disukai oleh kaum hawa, terutama ibu-ibu rumah tangga. Itu sebuah fenomena. Dari fenomena tersebut, bisa diguga bahwa kaum hawa menilai positif kehadiran filmfilm tersebut. Padahal jika kita menilik alur ceritanya, banyak peristiwa budaya yang sama sekali tidak rasional dan bahkan sangat bertentangan dengan pola budaya di Indonesia. Dilihat dari aspek rasionalitas ceritanya juga sangat banyak yang aneh-aneh atau ganjil. Dramatisasinya sangat berteletele, dsb. Namun demikian, toh kaum hawa masih tetap menyukainya. Mungkin sebagian dari kita kaum laki-laki juga banyak yang menyukainya.

Tampaknya masalah hiburan tidak selalu mempertimbangkan aspek rasionalitas dan logika cerita. Gambar Model teori nilai harapan dari pemanfaatan media


  1. MEDIA KULTIVASI


Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Professor George Gerbner, Dekan emiritus dari Annenberg School for Communication di Universitas Pensylvania. Dalam riset proyek indikator budaya terdapat lima asumsi yang dikaji Gerbner dan koleganya (Baran, 2003 : 324-325).

Pertama, televisi secara esensial dan fundamental berbeda dari bentuk media massa lainnya. Televisi tidak menuntut melek huruf seperti pada media suratkabar, majalah dan buku. Televisi bebas biaya, sekaligus menarik karena kombinasi gambar dan suara.

Kedua, medium televisi menjadi the central cultural arm masyarakat Amerika,

karena menjadi sumber sajian hiburan dan informasi.

Ketiga, persepsi seseorang akibat televisi memunculkan sikap dan opini yang spesifik tentang fakta kehidupan. Karena kebanyakan stasiun televisi mempunyai target

khalayak sama, dan bergantung pada bentuk pengulangan program acara

dan cerita (drama).

Keempat, fungsi utama televisi adalah untuk medium sosialisasi dan enkulturasi melalui isi tayangannya (berita, drama, iklan)

Kelima, observasi, pengukuran, dan kontribusi televise kepada budaya relatif kecil, namun demikian dampaknya signifikan.

Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para pemirsa televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya.


Selasa, 22 Juli 2008



Rabu, 2 Juli 2008 | 06:26 WIB

JAKARTA, RABU - Pepatah mengatakan bola itu bulat. Namun, di antara yang bulat pasti ada yang paling bulat. Sekelompok tim peneliti internasional yang terdiri dari insinyur berbagai negara mengklaim telah membuat bola paling bulat di dunia.

Bukan bola sepak, voli, atau bola untuk bermain yang dibuat tim Avogadro Project ini, melainkan bola yang akan diusulkan sebagai standar internasional untuk satu satuan kilogram. Bola yang punya nilai ilmiah sangat tinggi tersebut menjadi salah satu obyek pembicaraan utama dalam konferensi Instrumentasi dan Teleskop Astronomi SPIE di Perancis, pekan lalu.

Tak mudah membuatnya. Bola tersebut terbuat dari isotop silikon murni, silikon-28, yang dibuat di mesin pengayaan uranium pada fasilitas bekas pembuatan senjata nuklir di Rusia. Dari Rusia, material tersebut diangkut ke lembaga metrologi Jerman untuk disusun menjadi bola kristal. Setelah enam kali gagal, akhirnya berhasil dibuat dua bongkah kristal masing-masing seberat 5 kilogram yang kemudian dikirim ke Australia.

Dengan peralatan optik presisi, bongkahan tersebut dibentuk menjadi bulatan kristal. Masing-masing berdiameter 93,75 milimeter dan massanya sebanding dengan standar kilogram yang dimiliki Australia saat ini. Saking halusnya, tingkat kekasarannya hanya 0,3 nanometer dan beda kelengkungan di berbagai titik antara 60-70 nanometer saja.
'Jika Anda membuatnya sebesar ukuran Bumi, kekasaran di permukaan hanya 12-15 milimeter dan variasi kelengkungannya 3-5 meter," ujar Achim Leistner dari Australian Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO).

Bola tersebut memang disusulkan sebagai standar kilogram yang akan ditentukan berdasarkan jumlah atom silikon dalam sebuah bola kristal. Untuk menghitung volume bola digunakan interferometer optik yang akan mengukur jarak antara satu titik dan titik lainnya dari 60.000 lokasi berbeda di permukaan bola. Sementara untuk mengukur kerapatan atom digunakan kristalografi sinar-X yang sanggup melihat struktur kristal susunan atom-atom dalam bola tersebut.

Dengan mengalikan volume dan kerapatan dapat diketahui jumlah atom silikon dalam sebuah bola. Tinggal disepakati berapa jumlah atom yang menjadi standar satu kilogram.

Kilogram merupakan satu-satunya standar pengukuran yang masih ditentukan dengan obyek fisik, yakni sebuah silinder platina iridium di Sevres, Perancis, yang sudah dipakai sejak 120 tahun lalu. Namun, yang menjadi masalah massa logam tersebut lambat laun mengalami perubahan sehingga tidak sama dengan 40 duplikatnya yang disebarkan ke berbagai belahan dunia.

Kelompok ilmuwan yang peduli dengan masalah tersebut mempertimbangkan untuk mendefinisikan ulang satuan kilogram. Komite internasional untuk berat dan pengukuran (ICWM) akan memutuskan perubahan tersebut pada 2011.

Jumat, 18 Juli 2008

Tau ngak sih..???

KALAU ANDA MAKAN SATE, JANGAN LUPA MAKAN TIMUN SETELAHNYA, KARENA..
KETIKA KITA MAKAN SATE SEBETULNYA IKUT JUGA KARBON DARI HASIL PEMBAKARAN
ARANG YANG DAPAT MENYEBABKAN KANKER. UNTUK ITU KITA PUNYA OBATNYA YAITU TIMUN
YANG DISARANKAN UNTUK DIMAKAN SETELAH MAKAN SATE, KARENA SATE MEPUNYAI
ZAT KARSINOGEN (PENYEBAB KANKER) TETAPI TIMUN TERNYATA PUNYA ANTI KARSINOGENIK.
JADI JANGAN LUPA MAKAN TIMUN SETELAH MAKAN SATE...




Jurnalisme Online dan Masa Depan Surat Kabar



Kemaren kelompok Saya dapat giliran mengerjakan tugas ini, jadi sedikit taulah tentang pembahasan kita kali ini. Jadi saudara-saudara sebangsa dan setanah air, marilah kita bersama-sama membahas permasalahan kita kali ini. Mudah-mudahan sodara-sodara sekalian juga jadi bisa tau gimana sebenarnya peran surat kabar tempo doeloe dan jurnalisme online yang sedang marak searang ini… are you ready pemirso….????


Pertama sekali, saya akan memperkenalkan terlebih dahulu jurnalistik itu sendiri. Jurnalistik itu adalah, suatu kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa-peristiwa. Begitu kata Curtis MacDougall, pada tahun 1972. salah satu contoh bentuk jurnalistik adalah surat kabar, pastinya sodara-sodara sekalian sudah tau bagaimana wujudnya surat kabar itu. Surat kabar itu sendiri merupakan wadah penyajian karya jurnalistik yang berupa informasi actual, hiburan, keterangan, atau penerangan dalam bentuk berita, tajuk, kritik, ulasan, ataupun artikel-artikel dengan menggunakan mediasi kertas. Surat kabar ini merupakan salah satu media dari jurnalisme konvensional untuk memberikan informasi kepada khalayak. Nah, saya yakin sodara-sodara sudah mengerti apa itu surat kabar dan bagaimana fungsinya.


Kalau begitu kita masuk ke jurnalisme online. Jurnalisme online itu sama saja seperti jurnalisme konvensional yang menghimpun berita dan fakta serta melaporkannya kepada khalayak, namun proses penyampaian informasinya dengan menggunakan media internet. Oleh sebab itu,pekerjaan jurnalis lebih mudah karena dapat dilakukan melalui PC atau computer. Jadi, sodara-sodara sekalian juga dapat dengan mudah memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan mudah dan cepat melalui dunia maya atau bahasa gaulnya cyber space.

Bagaimana?? Pastinya sodara-sodara sekalian sekarang sudah tau perbedaan antara jurnalisme konvensional dengan jurnalisme online kan..??? kalau begitu, untuk lebih melengkapi ketahuan sodara-sodara sekalian, saya akan memberikan beberapa ciri-ciri jurnalisme online supaya sodara-sodara semakin bisa membedakan mana jurnalisme konvensional dan mana jurnalisme online.

Yang pertama, jurnalisme online bersifat real time. Artinya, berita, kisah-kisah, peristiwa=peristiwa, bias langsung dipublikasikan pada saat kejadian sedang berlangsung.

Kedua, dari sisi penerbit. Maksudnya, mekanisme publikasi real time itu lebih leluasa tanpa dikerengkengi oleh periodisasi maupun jadwal penerbitan atau siaran; kapan saja dan dimana saja selama terhubung ke jaringan internet maka penerbit mampu mempublikasikan berita, peristiwa, ataupun kisah-kisah pada saat itu juga. Nah, inilah yang memungkinkan para pembaca seperti kita-kita ini untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan sebuah peristiwa dengan lebih sering dan terpadu.

Kemudian yang ketiga, jurnalisme online biasanya menyertakan unsure-unsur multimedia. Hal inilah yang memungkinkan jurnalisme ini mampu menyajikan bentuk dan isi publikasi yang lebih kaya ketimbang jurnalisme di media tradisional. Karakteristik ini, terutama sekali, berlangsung pada jurnalisme yang berjalan di atas web.

Keempat, jurnalisme online bersifat interaktif. Dengan memanfaatkan hyperlink yang terdapat pada web, karya-karya jurnalisme online dapat menyajikan informasi yang terhubung dengan sumber-sumber lain. Ini berarti, sodara-sodara sekalian dapat menikmati informasi secara efisien dan efektif namun tetap terjaga dan didorong untuk mendapatkan pendalaman dan titik pandang yang lebih luas bahkan sama sekali berbeda.

Selanjutnya yang kelima, jurnalisme online tidak membutuhkan organisasi resmi berikut legal frmal sebagai lembaga pers. Bakan dalam kontes tertentu organisasi tersebut dihilangkan.

Keenam, jurnalisme tidak membutuhkan penyuntingan/redaktur seperti yang dimiliki surat kabar konvensional sehingga tidak ada orang yang mampu membantu masyarakat dalam menentukan informasi mana yang masuk akal dan tidak. Jadi, sodara-sodara sekalian kudu ati-ati dalam mengkonsumsi informasi dari jurnalisme ini, karena ngak jarang, infrmasinya hanya fiktif belaka.

Ketujuh, tidak ada biaya berlangganan kecuali langganan dalam mengakses internet sehingga sodara-sodara sekalian memiliki kebebasan dalam memilih informasi yang diinginkan.

Terakhir, jurnalisme online relative lebih terdokumentasi karena tersimpan dalamjaringan digital.


Nah, itu dia sedikit tentang cirri-ciri dari jurnalisme online. Mudah-mudahan sodara-sodara ngak salah lagi dalam membedakan antara jurnalisme konvensional dengan jurnalisme online. Ok, saya akan melanjutkan ke jenis-jenis jurnalisme online itu apa saja.

Yang pertama ada Mainstream News Sites. Kok bahasa asing segala yak..??? tenang… tenang… saya akan memberi penjelasannya. Mainstream News Sites itu adalah suatu jenis media berita online yang paling tersebar luas. Situs ini menawarkan pilihan editorial content. Banyak yang disediakan oleh media induk yang terhubung (linked) denganya atau memang sengaja diproduksi untuk versi web. Tingkat komunikasi partisipatorinya adalah cenderung tertutup. Contoh dari situs ini adalah CNN, BBC, MSNBC, serta berbagai surat kabar online.

Kedua, Index & Category Sites. Jenis jurnalisme ini sering dikaitkan dengan mesin pencari (searh engines) tertentu seperti Altavista atau Yahoo, perusahaan riset pemasaran (Seperti Moreover) atau agensi (Newsindex) dan kadang-kadang bahkan individu yang melakukan usaha (Paperboy). Disini, jurnalisme online menawarkan links yang mendalam ke situs-situs berita yang ada dimanapun di World Wide Web.

Ketiga, Meta & Comment Sites. Ini merupakan situs tentang media berita dan isu-isu media secara umum. Kadang-kadang dimaksudkan sebagai pengawas media, misalnya Mediachanel, Freedomforu, Poynter’s Medianews. Kadang-kadang juga dimaksudkan sebagai situs kategori dan indeks yang diperluas seperti European Journalism Center (Medianews, Europemedia). Waduh, sepertinya membingungkan ya..?? tapi intinya jurnalisme jenis ini bias dijadikan sebagai pengawas media dan sebagai situs kategori.

Jenis yang keempat, Share & Discussion Sites. Ini merupakan situs-situs yang mengeksploitasi tuntutan public bagi konektifitas, dengan menyediakan sebuah platfon untuk mendiskusikan content yang ada dimanapun di internet. Dan kesuksesan internet pada dasarnya memang disebabkan karena public ingin berkoneksi atau berhubungan dengan orang lain dalam tingkatan global tanpa batas.


Jurnalisme Online VS Jurnalisme Konvensional

Wah… wah… dari judulnya, seperti pertarungan tinju saja ya..??? baiklah, setelah membahas tentang pengertian, cirri-ciri, dan jenis-jenis jurnalisme online, Saya akan mengajak sodara-sodara sekalian untuk mengetahui dimana letak perbedaan antara jurnalisme online dan jrnalisme konvensional.

  • Jurnalisme online merupakan jurnalisme yang proses pencarian, pengolahan dan penyebarluasan informasinya melalui fasilitas dalam media internet. Sedangkan pada jurnalisme konvensional, proses pencarian, pengolahan, dan penyebarluasan fakta melalui proses kerja jurnalis yang menganut unsure 5W+1H (5W= what, where, who, when, why. 1H= how) dimana berpedoman pada etika jurnalisme dan dipastikan kebenarannya.

  • Batasan jurnalisme online adalah etika jurnalisme. Sedangkan pada jurnalisme konvensional adalah formal yang terdapat pada aturan dan etika jurnalisme.

  • Pada jurnalisme online terdapat unsure multimedia. Sedangkan pada jurnalisme konvensional tidak ada unsure multimedia.

  • Media yang digunakan dalam jurnalisme online adalah media internet untuk menyampaikan informasi dan berita kepada sodara-sodara sekalian sebagai komunikan. Sedangkan jurnalisme konvensional menggunakan media cetak seperti surat kabar, majalah, tabloid, radio, televise dan sebagainya.

  • Kemudian, dalam penyajian berita, jurnalisme online relative lebih cepat daripada jurnalisme konvensinal seperti surat kabar yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses pencetakannya. Inilah salah satu alasan mengapa kebanyakan sodara-sodara lebih memilih jurnalisme online.

  • Berita atau informasi pada jurnalisme online kebenaran beritanya kurang terjamin keakuratannya dibanding dengan surat kabar. Mengapa demikian?? Karena siapa saja dapat menulis apapun di sebuah blog walaupun dia bukan seorang wartawan. Jadi seperti yang Saya bilang di atas tadi, sodara-sodara kudu ati-ati dalam menggunakan jurnalisme online ini.

  • Jumlah berita yang ditayangkan di jurnalisme online lebih lengkap dan informasi yang dapat disampaikan dapat dilakukan secara cepat dan langsung kepada komunikan, terlebih lagi jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya didalam berita yang akan diterima oleh komunika. Dalam media cetak hanya dapat tersampaikan teks maupun gambar saja. Pastinya lebih menarik jurnalisme online dari segi penyajian, bukan???


Melihat penjelasan-penjelasan yang telah Saya jabarkan, mungkin sodara-sodara berfikir bahwa mungkin saja suatu saat nanti jurnalisme konvensiona, terutama surat kabar akan ditinggalkan oleh seluruh mahkluk di dunia ini mengingat bagaimana perkembangan yang dihadirkan oleh jurnalisme online.

Menurut penelitian di AS menyebutkan bahwa tingkat kesalahan berita surat kabar mencapai 18% dan tingkat kesalahan televise adalah 38%. Berdasarkan data tersebut , maka bukan suatu kemustahilan bila jurnalisme online bias mencapai kesalahan yang lebih tinggi lagi. Dari sini bisa kita lihat bahwa kebenaran suatu berita yang di tampilkan surat kabar jauh lebih terpercaya daripada jurnalisme online. Ini membuktikan bahwa surat kabar pasti masih akan di cari orang dan akan terus hidup walaupun jurnalisme online hadir dalam kemajuan teknologi. Jadi bagi sodara-sodara yang tidak mengerti menggunakan internet, tidak perlu khawatir!! Sodara-sodara sekalian pasti masih bias memperoleh informasi melalui surat kabar yang tidak akan pernah mati di telan kemajuan jurnalisme online. Karena walaupun masih katrok, surat kabar lebih terjamin kebenarannya dan dapat dibaca kapanpun dan dimanapun tanpa harus mengakses internet.

Jadi, selamat memilih media jurnalis mana yang akan sodara-sodara gunkan dalam memperoleh informasi.


Akhirnya sampailah kita pada akhir pertemuan… ^-^. Mudah-mudahan apa yang sudah Saya jelaskan dapat menambah pengetahuan sodara-sodara sekalian mengenai jurnalisme online dan jurnalisme konvensional. Maaf bila ada salah kata, maaf bila mungkin kurang dimengerti.

Terimakasih atas perhatiannya terhadap blog Saya ini. Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Jesus, kekurangan milik dorce… hehehehehe….





Selasa, 15 Juli 2008

ibuku... ok deh..

Ibuku .... Ok dech


Saat engkau hadir di dunia ini, Ibu mendekapmu erat dalam hangat peluknya. Engkau mensyukurinya dengan menjerit sekencang mungkin.

Saat engkau berumur 1 tahun, Ibu menyusui dan memandikanmu. Engkau mensyukurinya dengan tangisanmu yang membangunkannya di tengah malam.

Saat engkau berumur 2 tahun, Ibu melatihmu berjalan. Engkau mensyukurinya dengan berlari menjauh saat Ibu memanggil.

Saat engkau berumur 3 tahun, Ibu membuatkan bubur untukmu dengan penuh cinta. Engkau mensyukurinya dengan membanting mangkokmu ke lantai hingga berceceran.

Saat engkau berumur 4 tahun, Ibu memberimu pensil warna. Engkau mensyukurinya dengan mencoreti permukaan meja makan.

Saat engkau berumur 5 tahun, Ibu memakaikan pakaian terbaik untukmu dan mengajakmu jalan-jalan. Engkau mensyukurinya dengan meloncat-loncat di atas genangan lumpur yang kau jumpai.

Saat engkau berumur 6 tahun, Ibu memasukkanmu ke sekolah dasar. Engkau mensyukurinya dengan berteriak, "AKU TIDAK MAUU !!"

Saat engkau berumur 7 tahun, Ibu membelikanmu bola sepak. Engkau mensyukurinya dengan menyepaknya kuat-kuat hingga memecahkan kaca jendela tetanggamu.

Saat engkau berumur 8 tahun, Ibu membelikanmu es krim. Engkau mensyukurinya dengan menumpahkannya ke pangkuanmu.

Saat engkau berumur 9 tahun, Ibu membayarkan kursus piano untukmu. Engkau mensyukurinya dengan tak pernah serius berlatih.

Saat engkau berumur 10 tahun, Ibu mengantarkanmu bermain bola, berolahraga dan ke pesta ulang tahun temanmu. Engkau mensyukurinya dengan melompat keluar dari mobil tanpa berpamitan.

Saat engkau berumur 11 tahun, Ibu mengajak engkau dan temanmu ke bioskop. Engkau mensyukurinya dengan menyuruh Ibu duduk di barisan yang berbeda.

Saat engkau berumur 12 tahun, Ibu mengingatkanmu untuk tidak menonton acara TV tertentu. Engkau mensyukurinya dengan menunggu hingga Ibu keluar rumah.


Belasan tahun kemudian,

Saat engkau berumur 13 tahun, Ibu menyuruhmu memotong rambut.Engkau mensyukurinya dengan mengatakan bahwa Ibu tidak mengerti mode.

Saat engkau berumur 14 tahun, Ibu membayarkan kemah remaja selama sebulan untukmu. Engkau mensyukurinya dengan tak pernah menceritakan kabarmu selama itu.

Saat engkau berumur 15 tahun, Ibu pulang dari kantor, mencari pelukanmu. Engkau mensyukurinya dengan menutup dan mengunci pintu kamarmu.

Saat engkau berumur 16 tahun, Ibu mengajarkan padamu cara mengendarai mobil. Engkau mensyukurinya dengan memakai mobil setiap ada kesempatan.

Saat engkau berumur 17 tahun, Ibu menunggu telepon penting. Engkau mensyukurinya dengan bertelepon ria sepanjang malam.

Saat engkau berumur 18 tahun, Ibu menangis haru pada hari kelulusanmu. Engkau mensyukurinya dengan berpesta pora bersama temanmu hingga fajar menjelang.


Ketika tubuh bertambah lemah, semakin tua ...

Saat engkau berumur 19 tahun, Ibu membayari biaya kuliahmu, mengantarkanmu ke kampus dan membawakan barang-barangmu. Engkau mensyukurinya dengan berpamitan sedemikian rupa, agar tak nampak Ibu memelukmu di depan teman-temanmu.

Saat engkau berumur 20 tahun, Ibu bertanya sudahkah engkau mempunyai pacar ? Engkau mensyukurinya dengan menjawab, "Bukan urusanmu."

Saat engkau berumur 21 tahun, Ibu menyarankanmu bekerja di bidang ini-itu kelak. Engkau mensyukurinya dengan menjawab, "Aku tidak mau seperti Ibu."

Saat engkau berumur 22 tahun, Ibu memelukmu saat tibanya hari wisudamu. Engkau mensyukurinya dengan minta hadiah tur ke Eropa.

Saat engkau berumur 23 tahun, Ibu memberikan perabotan untuk rumah kontrakanmu. Engkau mensyukurinya dengan mengatakan pada temanmu, perabotan itu jelek.

Saat engkau berumur 24 tahun, Ibu bertemu dengan pacarmu dan menanyakan rencana pernikahanmu. Engkau mensyukurinya dengan melotot dan menggeram, "Ibuu ... nantilah !"

Saat engkau berumur 25 tahun, Ibu membantu biaya pesta pernikahanmu dan Ibu menangis bahagia, serta mengatakan betapa besar cintanya padamu. Engkau mensyukurinya dengan pindah ke luar kota.

Saat engkau berumur 30 tahun, Ibu memberi nasihat untuk perawatan anak-anakmu. Engkau mensyukurinya dengan menjawab, "Sekarang zamannya sudah beda."

Saat engkau berumur 40 tahun, Ibu menelponmu dan mengingatkan akan acara perkumpulan keluarga. Engkau mensyukurinya dengan mengatakan bahwa engkau benar-benar sibuk sekarang.

Saat engkau berumur 50 tahun, Ibu jatuh sakit dan membutuhkan engkau untuk merawatnya. Engkau mensyukurinya dengan menceritakan kisah orang tua yang menjadi beban bagi anak-anaknya.


Hingga kemudian, di suatu hari, Ibu meninggal.

Dan segala sesuatu yang tak pernah kau baktikan untuk Ibu setulusnya, menjelma menjadi penyesalan yang menyiksa dirimu seperti halilintar


Selamat Datang Jurnalisme Online


Jurnalisme online hadir akibat perkembangan teknologi komunikasi dan memudahkan khalayak memperoleh informasi. Tetapi, ada orang yang risau dengan kehadiran jurnalisme online. Sebab, relibialitas informasi yang dihasilkan jurnalisme online sering terabaikan. Timbullah keraguan dalam diri khalayak untuk mengakses jurnalisme online.


  • Ada makna di balik Jurnalisme Online.

Sesungguhnya jurnalisme online hadir pada tanggal 19 Januari 1998, ketika Mark Drudge membeberkan cerita perselingkuhan Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang sering disebut “monicagate” (Grossman, 1999:17). Ketika itu, Drudge berbekal sebuah laptop dan modem, menyiarkan berita tentang berita tersebut lewat internet. Semua orang yang mengakses internet segera mengetahui rincian cerita “monicagate”.

Berpangkal pada kenyataan diatas, jurnalisme online itu seolah-olah bukan jurnalisme. Jonathan Dube, seorang wartawan jurnalisme online, bahkan merasakan bahwa jurnalisme online tidak seseru jurnalisme biasa. Ini terasa logis, sebab orang yang tidak memiliki keterampilan jurnalistik yang memadai pun bisa bercerita lewat jurnalisme online. Orang yang tidak mengenal seluk beluk jurnalisme bisa menyampaikan idenya pada orang-orang di berbagai belahan bumi melalui internet.

Persoalannya sekarang adalah, bagaimana tingkat kebenaran berita yang ibawa oleh jurnalisme online. Kesalahan pemneritaan mungkin saja terjadi. Sangat tidak mungkin jurnalisme online bebas dari kesalahan. Berita televise dan berita surat kabar, yang notabenenya dihasilkan oleh orang-orang yang memiliki keterampilan jurnalistik memadai, dianggap masih mengandung kesalahan. Sebuah penelitian di Amerika Serikat misalnya, menyetujui bahwa tingkat kesalahan berita surat kabar mencapai 18% dan tingkat kesalahan berita televisi mencapai angka 38% (Hickey 1999:42). Dengan kata lain, khalayak perlu berhati-hati menerima informasi dari jurnalisme online.



  • Kelebihan Jurnalisme Online.

Adapun kelebihan dari jurnalisme online, antara lain:

- Sebagai program untuk memberdayakan individu dalam memperoleh informasi. Setiap individu punya kesempatan untuk mengakses segala informasi yang dia kehendaki sehingga dapat memuaskan kerinduannya akan inormasi.

- Bisa menyiarkan informasi dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang sangat pendek.

- Bisa menggabungkan tulisan, gambar dan suara dalam satu kesatuan yang utuh. Ini jelas menambah daya tarik pesan. Oleh karena itu, jurnalisme online akan menguasai perhatian masyarakat.


  • Kekurangan Jurnalisme Online

Selain memiliki kelebihan, jurnalisme online jua memiliki sisi kekurangan, antara lain:

    • Jurnalisme Online tiak memiliki penyunting seperti yang dimiliki surat kabar konvensional

    • Tidak membutuhkan orang yang mampu membantu masyarakat dalam menentukan informasi mana yang masuk akal atau tidak.

    • Tidak memiliki kreibilitas.


Semua ciri ini menyiratkan bahwa masyarakat yang mengakses jurnalisme online harus senantiasa kritis dan skeptis ketika menerima informasi.



  • Manfaat Jurnalisme online

    • Sebagai pengungkap sejarah

    • Memuaskan keinginan individu untuk melarikan diri dari jurnalisme biasa. Jurnalisme online memiliki peluang untuk memuaskan masyarakat yang idak puas dengan berita yang mereka peroleh lewat media massa.


Bila ada pihak yang mengatakan bahwa jurnalisme online merupakan tantangan bagi dunia jurnalistik dalam konteks peningkatan kualitas berita, ide ini tidak benar. Sebab, peningkatan kualitas berita yang utama berkaitan dengan etika jurnalistik . alam kaitannya denag etika jurnalistik, jurnalisme online sering mengabaikan etika jurnalistik sebagai standar yang memandu keterampilan jurnalistik (Sustiwi, 2000).

Sudah barang tentu, dalam memanfaatkan jurnalisme online, masyarakat berpedoman kepaa makna yang mereka berikan kepada jurnalisme online itu sendiri. Tetapi, manfaat jurnalisme online itu lebih merupakan manfaat praktis. Terpulang kepada masyarakat ntuk memanfaatkannya secara filosofi, dan sebagainya.